Segala puji
bagi Allah, Rabb pemberi berbagai nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik hingga akhir zaman.
Sebagian
orang salah paham dengan istilah zuhud. Dikira zuhud adalah hidup tanpa harta.
Dikira zuhud adalah hidup miskin. Lalu apa yang dimaksud dengan zuhud yang
sebenarnya? Semoga tulisan berikut bisa memberikan jawaban berarti.
Mengenai
zuhud disebutkan dalam sebuah hadits,
Dari Sahl
bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu
amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu
pula manusia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah
pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia,
manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi
mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang hasan)
Dalam hadits
di atas terdapat dua nasehat, yaitu untuk zuhud pada dunia, ini akan membuahkan
kecintaan Allah, dan zuhud pada apa yang ada di sisi manusia, ini akan
mendatangkan kecintaan manusia.[1]
Penyebutan Zuhud Terhadap Dunia dalam Al Qur’an dan
Hadits
Masalah
zuhud telah disebutkan dalam beberapa ayat dan hadits. Di antara ayat yang
menyebutkan masalah zuhud adalah firman Allah Ta’ala tentang orang mukmin di
kalangan keluarga Fir’aun yang mengatakan,
“Orang yang
beriman itu berkata: “Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu
jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS.
Ghafir: 38-39)
Dalam ayat
lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
“Tetapi kamu
(orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah
lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 16-17)
Mustaurid
berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Demi Allah,
tidaklah dunia dibanding akhirat melainkan seperti jari salah seorang dari
kalian yang dicelup -Yahya berisyarat dengan jari telunjuk- di lautan, maka
perhatikanlah apa yang dibawa.” (HR. Muslim no. 2858)
Al Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Dunia seperti air yang tersisa di jari
ketika jari tersebut dicelup di lautan sedangkan akhirat adalah air yang masih
tersisa di lautan.”[2] Bayangkanlah, perbandingan yang amat jauh antara
kenikmatan dunia dan akhirat!
Dari Sahl
bin Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seandainya
harga dunia itu di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk tentu Allah tidak
mau memberi orang orang kafir walaupun hanya seteguk air.” (HR. Tirmidzi no.
2320. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Tiga Makna Zuhud Terhadap Dunia
Yang
dimaksud dengan zuhud pada sesuatu –sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al
Hambali- adalah berpaling darinya dengan sedikit dalam memilikinya, menghinakan
diri darinya serta membebaskan diri darinya.[3] Adapun mengenai zuhud terhadap
dunia para ulama menyampaikan beberapa pengertian, di antaranya disampaikan
oleh sahabat Abu Dzar.
Abu Dzar
mengatakan,
“Zuhud
terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga
menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu
yakin terhadapp apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu.
Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap
pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.”[4]
Yunus bin
Maysaroh menambahkan pengertian zuhud yang disampaikan oleh Abu Dzar. Beliau
menambahkan bahwa yang termasuk zuhud adalah, “Samanya pujian dan celaan ketika
berada di atas kebenaran.”[5]
Ibnu Rajab
Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Zuhud terhadap dunia dalam riwayat di atas
ditafsirkan dengan tiga hal, yang kesemuanya adalah amalan batin (amalan hati),
bukan amalan lahiriyah (jawarih/anggota badan). Abu Sulaiman menyatakan,
“Janganlah engkau mempersaksikan seorang pun dengan zuhud, karena zuhud
sebenarnya adalah amalan hati.“[6]
Cobalah kita
perhatikan penjelasan dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah terhadap tiga
unsur dari pengertian zuhud yang telah disebutkan di atas.
Pertama:
Zuhud adalah yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih diharap-harap
dari apa yang ada di sisinya. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang
kokoh pada Allah. Oleh karena itu, Al Hasan Al Bashri menyatakan, “Yang
menunjukkan lemahnya keyakinanmu, apa yang ada di sisimu (berupa harta dan
lainnya –pen) lebih engkau harap dari apa yang ada di sisi Allah.”
Abu Hazim
–seorang yang dikenal begitu zuhud- ditanya, “Apa saja hartamu?” Ia pun
berkata, “Aku memiliki dua harta berharga yang membuatku tidak khawatir miskin:
[1] rasa yakin pada Allah dan [2] tidak mengharap-harap apa yang ada di sisi
manusia.”
Lanjut lagi,
ada yang bertanya pada Abu Hazim, “Tidakkah engkau takut miskin?” Ia memberikan
jawaban yang begitu mempesona, “Bagaimana aku takut miskin sedangkan Allah
sebagai penolongku adalah pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi,
bahkan apa yang ada di bawah gundukan tanah?!”
Al Fudhail
bin ‘Iyadh mengatakan, “Hakikat zuhud adalah ridho pada Allah ‘azza wa jalla.”
Ia pun berkata, “Sifat qona’ah, itulah zuhud. Itulah jiwa yang “ghoni”, yaitu selalu
merasa cukup.”
Intinya,
pengertian zuhud yang pertama adalah begitu yakin kepada Allah.
Kedua: Di
antara bentuk zuhud adalah jika seorang hamba ditimpa musibah dalam hal dunia
berupa hilangnya harta, anak atau selainnya, maka ia lebih mengharap pahala
dari musibah tersebut daripada dunia tadi tetap ada. Ini tentu saja dibangun di
atas rasa yakin yang sempurna.
Siapakah yang
rela hartanya hilang, lalu ia lebih harap pahala?! Yang diharap ketika harta
itu hilang adalah bagaimana bisa harta tersebut itu kembali, itulah yang
dialami sebagian manusia. Namun Abu Dzar mengistilahkan zuhud dengan rasa yakin
yang kokoh. Orang yang zuhud lebih berharap pahala dari musibah dunianya
daripada mengharap dunia tadi tetap ada. Sungguh ini tentu saja dibangun atas
dasar iman yang mantap.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini telah mengajarkan do’a yang sangat
bagus kandungannya, yaitu berisi permintaan rasa yakin agar begitu ringan
menghadapi musibah. Do’a tersebut adalah,
“Allaahummaqsim
lanaa min khosy-yatika maa yahuulu bihii bainanaa wa baina ma’aashiika, wa min
thoo’atika maa tuballighunaa bihi jannatak, wa minal yaqiini maa tuhawwinu bihi
‘alainaa mushiibaatid dunyaa” (Ya Allah, curahkanlah kepada kepada kami rasa
takut kepadaMu yang menghalangi kami dari bermaksiat kepadaMu, dan ketaatan
kepadaMu yang mengantarkan kami kepada SurgaMu, dan curahkanlah rasa yakin yang
dapat meringankan berbagai musibah di dunia) (HR. Tirmidzi no. 3502. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Inilah di antara tanda zuhud, ia
tidak begitu berharap dunia tetap ada ketika ia tertimpa musibah. Namun yang ia
harap adalah pahala di sisi Allah.
‘Ali bin Abi
Tholib pernah mengatakan, “Siapa yang zuhud terhadap dunia, maka ia akan
semakin ringan menghadapi musibah.” Tentu saja yang dimaksud zuhud di sini
adalah tidak mengharap dunia itu tetap ada ketika musibah dunia itu datang.
Sekali lagi, sikap semacam ini tentu saja dimiliki oleh orang yang begitu yakin
akan janji Allah di balik musibah.
Ketiga:
Zuhud adalah keadaan seseorang ketika dipuji atau pun dicela dalam kebenaran
itu sama saja. Inilah tanda seseorang begitu zuhud pada dunia, menganggap dunia
hanya suatu yang rendahan saja, ia pun sedikit berharap dengan keistimewaan
dunia. Sedangkan seseorang yang menganggap dunia begitu luar biasa, ia begitu
mencari pujian dan benci pada celaan. Orang yang kondisinya sama ketika dipuji
dan dicela dalam kebenaran, ini menunjukkan bahwa hatinya tidak mengistimewakan
satu pun makhluk. Yang ia cinta adalah kebenaran dan yang ia cari adalah ridho
Ar Rahman.
Orang yang
zuhud selalu mengharap ridho Ar Rahman bukan mengharap-harap pujian manusia.
Sebagaimana kata Ibnu Mas’ud, “Rasa yakin adalah seseorang tidak mencari ridho
manusia, lalu mendatangkan murka Allah. Allah sungguh memuji orang yang
berjuang di jalan Allah. Mereka sama sekali tidaklah takut pada celaan
manusia.”
Al Hasan Al
Bashri mengatakan, “Orang yang zuhud adalah yang melihat orang lain, lantas ia
katakan, “Orang tersebut lebih baik dariku”. Ini menunjukkan bahwa hakekat
zuhud adalah ia tidak menganggap dirinya lebih dari yang lain. Hal ini termasuk
dalam pengertian zuhud yang ketiga.
Pengertian
zuhud yang biasa dipaparkan oleh ulama salaf kembali kepada tiga pengertian di
atas. Di antaranya, Wahib bin Al Warod mengatakan, “Zuhud terhadap dunia adalah
seseorang tidak berputus asa terhadap sesuatu yang luput darinya dan tidak
begitu berbangga dengan nikmat yang ia peroleh.” Pengertian ini kembali pada
pengertian zuhud yang kedua. [7]
Pengertian Zuhud yang Amat Baik
Jika kita
lihat pengertian zuhud yang lebih bagus dan mencakup setiap pengertian zuhud
yang disampaikan oleh para ulama, maka pengertian yang sangat bagus adalah yang
disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad Daroni. Beliau mengatakan, “Para ulama
berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang
mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang mengatakan,
“Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat.” Ada pula yang memberikan
pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang” Namun definisi-definisi
ini saling mendekati. Aku sendiri berpendapat,
“Zuhud
adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat
Allah.”[8]
Ibnu Rajab
Al Hambali mengatakan, “Definisi zuhud dari Abu Sulaiman ini amatlah bagus.
Definisi telah mencakup seluruh definisi, pembagian dan macam-macam zuhud.”[9]
Jika bisnis
yang dijalani malah lebih menyibukkan pada dunia sehingga lalai dari kewajiban
shalat, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Begitu pula jika permainan
yang menghibur diri begitu berlebihan dan malah melalaikan dari Allah, maka
sikap zuhud adalah meninggalkannya. Demikian pengertian zuhud yang amat luas
cakupan maknanya.
Dunia Tidak Tercela Secara Mutlak
Ada sebuah
perkataan dari ‘Ali bin Abi Tholib namun dengan sanad yang dikritisi. ‘Ali
pernah mendengar seseorang mencela-cela dunia, lantas beliau mengatakan, “Dunia
adalah negeri yang baik bagi orang-orang yang memanfaatkannya dengan baik.
Dunia pun negeri keselamatan bagi orang yang memahaminya. Dunia juga adalah
negeri ghoni (yang berkecukupan) bagi orang yang menjadikan dunia sebagai bekal
akhirat. …”[10]
Oleh karena
itu, Ibnu Rajab mengatakan, “Dunia itu tidak tercela secara mutlak, inilah yang
dimaksudkan oleh Amirul Mukminin –‘Ali bin Abi Tholib-. Dunia bisa jadi terpuji
bagi siapa saja yang menjadikan dunia sebagai bekal untuk beramal sholih.”
Ingatlah
baik-baik maksud dunia itu tercela agar kita tidak salah memahami! Dunia itu
jadi tercela jika dunia tersebut tidak ditujukan untuk mencari ridho Allah dan
beramal sholih.
Zuhud Bukan Berarti Hidup Tanpa Harta
Sebagaimana
sudah ditegaskan bahwa dunia itu tidak tercela secara mutlak. Namun sebagian
orang masih salah paham dengan pengertian zuhud. Jika kita perhatikan
pengertian zuhud yang disampaikan di atas, tidaklah kita temukan bahwa zuhud
dimaksudkan dengan hidup miskin, enggan mencari nafkah dan hidup penuh
menderita. Zuhud adalah perbuatan hati. Oleh karenanya, tidak hanya sekedar
memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang bisa dinilai sebagai orang yang
zuhud. Jika ada ciri-ciri zuhud sebagaimana yang telah diutarakan di atas,
itulah zuhud yang sebenarnya. Berikut satu kisah yang bisa jadi pelajaran bagi
kita dalam memahami arti zuhud.
Abul ‘Abbas
As Siroj, ia berkata bahwa ia mendengar Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa
‘Ali bin Fudhail berkata, ia berkata bahwa ayahnya (Fudhail bin ‘Iyadh) berkata
pada Ibnul Mubarok,
“Engkau
memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang sepadan
(tidak kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta.
Mengapa bisa begitu?”
Ibnul
Mubarok mengatakan,
“Wahai Abu
‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh). Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya untuk
menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Juga aku bekerja untuk memuliakan
kehormatanku. Aku pun bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada Rabbku”.[11]
Semoga
pembahasan kami kali ini dapat memahamkan arti zuhud yang sebenarnya. Raihlah
kecintaan Allah lewat sifat zuhud. Semoga Allah menganugerahkan pada kita
sekalian sifat yang mulia ini.