Taubat bermakna kembali kepada Allah setelah melakukan maksiat atau
dosa sambil menyesali kesalahan yang dilakukan dan berjanji sepenuh hati
untuk tidak melakukannya lagi. Pada perkembangan berikutnya, taubat
juga berarti menyesali kesalahan yang dilakukan tidak hanya pada Allah,
tapi juga pada sesama manusia.
Secara kontekstual, ada tiga macam kesalahan yang dilakukan seseorang,
pertama, kesalahan kepada Allah, seperti mengabaikan ibadah shalat lima
waktu, berzina, dan lain-lain.
Kedua, kesalahan pada Allah dan sesama manusia, seperti membunuh, mencuri, dan lain-lain. Ketiga, kesalahan pada sesama manusia (haqqul adami).
Menebus kesalahanan pada Allah dilakukan dengan cara bertaubat (QS Al
Baqarah 2:222; Ali Imron 3:133) dengan taubat nasuha yaitu sikap
penyesalan atas kealpaan yang dilakukan dan komitmen yang tulus untuk
tidak mengulangi (QS At Tahrim 66:8). Taubat nasuha, dengan demikian,
adalah perilaku penyesalan diri yang konsisten antara janji dan perilaku
serta berkesinambungan.
Taubat nasuha juga harus dilakukan saat kita menyesali kesalahan pada sesama manusia (haqqul adami).
Hal ini disebabkan karena Allah tidak akan mengampuni dosa antara
sesama manusia (haqqul adami ) sampai yang bersangkutan memaafkan
kesalahan kita. Dalam suatu Hadits diriwayatkan, Rasulullah menjelang
wafatnya mengumumkan pada para Sahabat bahwa apabila beliau punya salah,
beliau minta maaf. Apabila tidak dimaafkan, silahkan yang bersangkutan
membalasnya sesuai dengan kesalahan yang dilakukan Nabi.
Meminta maaf pada sesama manusia bagi banyak orang terasa lebih berat
dibanding bertaubat pada Tuhan. Padahal, seperti disinggung di muka, ia
tak kalah pentingnya karena dalam Islam keharmonisan hubungan
antarmanusia (hablun minan nas) sama prioritasnya dengan kaharmonisan
hubungan manusia dengan Tuhan-nya (hablun min Allah).
Apabila kita berbuat salah yang merugikan orang lain, permintaan maaf
yang tulus sangatlah perlu. Yakinkan bahwa kesalahan Anda itu tidak
akan terulang lagi.
Permintaan maaf diperlukan bukan hanya untuk mengobati hati orang
yang disakiti. Tetapi, yang lebih penting, untuk kebaikan diri kita
sendiri. Untuk mengembalikan kepercayaan (trust) orang itu
pada kita. Kehidupan antarmanusia baru bisa dikatakan harmonis dan
saling menguntungkan kalau dibangun dari rasa saling percaya.
Seseorang yang bermartabat dan ingin dihargai orang lain harus dapat
menjaga kepercayaan (amanah) yang diberikan padanya. Saat ketika amanah
itu dilanggar, ia telah menghancurkan dirinya sendiri di mata orang
lain. Sama dengan saat dia melanggar amanah yang diberikan Allah dengan
tidak mematuhi perintah dan mengabaikan larangan-Nya.
Allah Maha Tahu apakah taubat kita itu nasuha atau cuma main-main.
Akan tetapi, manusia tidak tahu, apakah permintaan maaf kita berkualitas
nasuha atau cuma di bibir saja. Untuk itu diperlukan pembuktian
terus-menerus untuk mengembalikan kepercayaan yang telah kita hancurkan
sendiri.