Powered By Blogger

Kamis, 03 November 2011

Apakah Amalku Diterima?

Pertanyaan “apakah amalku diterima (oleh Tuhan)?” baik diakui ataupun tidak pastilah menjangkiti perasaan setiap manusia di muka bumi, setiap kali melakukan perbuatan yang dimaksudkan beroleh pahala di sisi Tuhannya. Agama Islam, sebagai agama yang paling sempurna, secara jelas dan tegas menjelaskan tentang hal ini. Sebagai seorang muslim, sudah seharusnya mengilmui masalah ini agar setiap amal perbuatan yang dilakukan tidak sia-sia.
Di dalam ajaran Islam, diterima atau tidaknya amal oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala memiliki beberapa persyaratan. Hal ini telah disebutkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala sendiri di dalam kitab-Nya dan Rasululloh Sholallohu’alaihi wa sallam di dalam haditsnya. Syarat amal itu adalah sebagai berikut:
1. Ikhlas*, semata-mata amal itu untuk mencari ridho Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Alloh dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus”. (Al Bayyinah: 5)
Rosululloh Sholallohu’alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (Shahih, HR Bukhori-Muslim)
Kedua dalil ini sangat jelas menunjukkan bahwa dasar dan syarat pertama diterimanya amal adalah ikhlas, yaitu semata-mata mencari wajah Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Amal tanpa disertai dengan keikhlasan maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
2. Ittiba’, mengikuti petunjuk Rosululloh Sholallohu’alaihi wa sallam.
Amal tersebut harus sesuai dengan sunnah (petunjuk) Rosululloh Sholallohu’alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
Dan barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (Shahih, HR Muslim dari ‘Aisyah radhiAllohu ‘anha)
Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rosululloh Sholallohu’alaihi wa sallam. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “Yang penting kan niatnya..”. Adapun yang benar, harus ada kesesuaian amal tersebut dengan ajaran Rosululloh Sholallohu’alaihi wa sallam. Jika istilah “yang penting niat” itu benar, niscaya kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dengan dalil yang penting niatnya. Kita akan mengatakan para pencuri, penzina, pemabuk, pemakan riba’, pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid’ah (perkara-perkara yang diadakan dalam agama yang tidak ada contohnya dari Rosululloh Sholallohu’alaihi wa sallam), dan bahkan kesyirikan, tidak bisa kita salahkan, karena kita tidak mengetahui bagaimana niatnya. Demikian juga dengan seseorang yang mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan isterinya.
Apakah seseorang melakukan bid’ah dengan niat beribadah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala adalah benar? Apakah orang yang meminta kepada makam wali dengan niat memuliakan wali itu adalah benar? Tentu jawabannya adalah tidak.
Dari pembahasan di atas sangat jelas kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai penentu diterimanya. Oleh karena itu, sebelum melangkah untuk beramal hendaklah bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya? Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.
Masalah berikutnya, juga bukan sekedar memperbanyak amal, akan tetapi benar atau tidaknya amalan tersebut. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dia Alloh yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al Mulk: 2)
Muhammad bin ‘Ajlan berkata: “Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidak mengatakan yang paling banyak amalnya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/396)
Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengatakan yang paling baik amalnya dan tidak mengatakan yang paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rosululloh Sholallohu’alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah diucapkan oleh Imam Hasan Bashri.
Kedua syarat di atas merupakan makna dari kalimat Laa ilaaha illAlloh – Muhammadarrosululloh.
Wallohu a’lam.

*) Ikhlas berasal dari kata Kholis, yang berarti murni.