Di dalam agama
Islam dikenal istilah rukun iman yang enam jumlahnya. Seseorang
dikatakan berstatus mukmin apabila mengimani kesemuanya. Namun diantara
bentuk-bentuk keimanan terhadap poin-poin dalam rukun iman,
kadang-kadang di antara kaum muslimin ada perbedaan pemahaman, atau
bahkan ada yang tidak paham sama sekali. Dengan kesalahan pemahaman,
tentu hasil yang dikeluarkan akan menyimpang dari syariat Alloh yang
disampaikan melalui Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam, yang bisa
jadi akan “mencederai” status mukmin seseorang. Kalau sudah begini
alih-alih membawa seseorang ke jalan yang diridhoi Alloh, melainkan
malah menjerumuskan ke jalan kesesatan. Melalui artikel ini saya ingin
memberi pemaparan mengenai salah satu poin dari rukun iman, yaitu Iman
kepada Alloh.
Insya Alloh. Semoga bermanfaat.
Insya Alloh. Semoga bermanfaat.
Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dasar-dasar keimanan yang terangkum dalam enam hal yang dikenal dengan rukun iman – ketika beliau ditanya oleh Jibril tentang iman. Beliau sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman adalah engkau beriman kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir dan takdir seluruhnya yang baik dan buruk. (HR. Bukhori & Muslim)Iman kepada Alloh mencakup empat hal: (1) Iman kepada keberadaan Alloh, (2) Iman kepada rububiyah-Nya, (3) Iman kepada uluhiyah-Nya, (4) Iman kepada nama dan sifat-Nya.
Iman kepada Keberadaan Alloh
Setiap mukmin
harus mengimani keberadaan Alloh. Barangsiapa yang mengingkari
keberadaan Alloh atau ragu-ragu atas keberadaan-Nya ataupun memiliki
kebimbangan walupun sedikit, maka ia bukan lagi seorang mukmin. Tetapi
ia adalah seorang mulhid (atheis) dan bukan termasuk orang-orang
yang dianugerahi oleh Alloh keimanan dan hidayah. Keimanan seseorang
terhadap eksistensi (keberadaan) Alloh haruslah berupa keimanan yang
tidak ada keraguan sedikit pun, sebagaimana ia telah meyakini eksistensi
dirinya sendiri, bahkan lebih dari itu.
Keberadaan Alloh ini telah diakui oleh fitroh, akal, panca indera, dan ditetapkan pula oleh dalil syar’i.
Akal kita bisa
berfikir bahwa tidaklah seluruh makhluk dulu maupun sekarang kecuali
pasti ada yang menciptakan. Mustahil mereka menciptakan diri sendiri
karena sebelumnya tidak ada, dan yang tidak ada tidak bisa mencipta.
Secara fitroh, manusia telah mengakui adanya Alloh. Sebagaimana terdapat dalam firman Alloh yang artinya, “Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”,
atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami
telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah
anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau
akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?” (QS. Al-A’rof [7]: 172-173).
Iman kepada Rububiyah Alloh
Yaitu
beriman bahwa Alloh sajalah yang sebagai Robb yaitu mengesakan Alloh
dalam penciptaan-Nya, pemilikan-Nya, dan pengaturan-Nya.
Pertama, meyakini bahwa tidak ada pencipta kecuali Alloh. Ayat yang menunjukkan demikian adalah firman Alloh Ta’ala yang artinya, “… .Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Alloh. …” (QS. Al-A’rof [7]: 54).
Kedua,
meyakini bahwa tidak ada yang menguasai mekhluk kecuali pencipta-Nya
yaitu Alloh, sebagaimana Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Kepunyaan Alloh-lah kerajaan langit dan bumi, …”
Ketiga,
meyakini bahwa tidak ada yang mengatur alam semesta ini kecuali Alloh
semata. Sebagaimana Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah:
“Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau
siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan
siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan
yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?”
Maka mereka akan menjawab: “Allah.” Maka katakanlah “Mangapa kamu tidak
bertakwa kepada-Nya)?” Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya. …” (QS. Yunus [10]: 31-32).
Perlu diketahui
Bentuk keimanan seperti ini – yaitu keimanan kepada rububiyah Alloh – tidaklah ditentang atau diingkari oleh orang-orang musyrik
bahkan mereka mengikrarkan keimanan seperti ini. Mereka tidak meyakini
bahwa apa yang selama ini mereka sembah dan agungkan (seperti Syaikh
Abdul Qodir Jailani dan para wali) mampu menciptakan atau mengatur alam
semesta. Yang mereka yakini sebagai pencipta, pemberi rizki, dan
pengatur alam semesta ini hanyalah Alloh semata.
Lihatlah firman Alloh yang artinya, “Dan
sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan
oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 9). Dan firman Alloh yang artinya, “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Alloh”, … “ (QS. Yunus [10]: 31-32).
Orang-orang
musyrik dahulu meyakini Alloh-lah pengatur segala sesuatu. Di
tangan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Mengenai keyakinan rububiyah
ini, tidak ada satu orang pun dari keturunan Adam yang mengingkari,
kecuali Fir’aun yang mengatakan, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi”
(QS. An Nazi’at [79]: 24), dan kaum Majusi yang menyatakan di alam ini
ada dua pencipta yaitu kegelapan dan cahaya (di mana kegelapan adalah
pencipta kejelekan, sedangkan cahaya adalah pencipta kebaikan). Jadi,
keimanan seperti ini diikrarkan pula oleh orang musyrik, namun tidak
memasukkan mereka ke dalam Islam. Mengapa? Karena mereka harus
mengikhlaskan ibadah kepada Alloh semata sebagaimana ditunjukkan dalam
keimanan yang berikut.
Iman kepada Uluhiyah Alloh
Yaitu
meyakini bahwa hanya Alloh saja yang berhak diibadahi. Bentuk keimanan
seperti ini adalah dengan mengesakan segala bentuk peribadatan kepada
Alloh Ta’ala, seperti berdoa, meminta, tawakal, takut, berharap,
menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah
yang telah diajarkan Alloh dan Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam.
Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Alloh termasuk kedzaliman yang paling besar di sisi-Nya yang disebut dengan SYIRIK. Dan dalil yang menunjukkan bahwa ibadah hanya boleh ditujukan kepada Alloh semata diantaranya firman Alloh yang artinya, “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun” (QS. An-Nisa [4]: 36)
Contoh
penyimpangan dalam bentuk keimanan seperti ini dianataranya ketika
seseorang mengalami musibah (seperti terlilit hutang) di mana ia
berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu orang tersebut datang
ke makam seorang wali, atau dukun, atau ke tempat keramat atau ke
tempat lainnya. Di sana ia meminta kepada wali, dukun, atau penghuni
tempat keramat tadi agar bisa dilepaskan dari musibah yang menimpanya.
Ia begitu berharap dan takut jika tidak terpenuhi keinginannya tersebut.
Ia pun mempersembahkan sesembelihan bahkan bernadzar (berjanji) untuk
beri’tikaf di tempat tersebut jika terlepas dari musibah.
Maka
bentuk ibadah yang dilakukan oleh orang ini termasuk kesyirikan (bahkan
syirik akbar yang mengeluarkannya dari Islam*) karena dia telah
memalingkan suatu ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Alloh, dia
tujukan kepada Alloh, dia tujukan kepada selain-Nya. Alloh Ta’ala
berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di
samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu,
maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya
orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (QS. Al Mu’minuun [23]: 117)
Iman kepada Nama dan Sifat Alloh
Yaitu
dengan menetapkan nama dan sifat Alloh sebagaimana telah ditetapkan
Alloh di dalam Alquran atau telah ditetapkan oleh rasul-Nya di dalam
As-Sunnah, yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan Alloh, tanpa tahrif (memalingkan makna dari makna yang semestinya), ta’thil (menolak nama atau sifat Alloh), takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). Alloh berfirman yang artinya, “Hanya
milik Alloh asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari
kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Mereka akan mendapat balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Al A’raaf [7]: 180).
Misalnya tatkala datang ayat sifat, “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy”
(QS. Thohaa [20]: 5). Maka seseorang harus menerimanya dengan
menyatakan bahwa Alloh berada di atas ‘Arsy dan tidak menolaknya dengan
menyatakan Alloh berada di mana-mana.
Demikianlah para pembaca sekalian, keimanan kita kepada Alloh haruslah memuat seluruh empat hal di atas, tidak hanya satu atau dua saja.
Sehingga kita katakan bahwa keyakinan sesorang bahwa Alloh itu ada
ataukah Alloh itu satu-satunya pencipta belum cukup untuk dikatakan
telah beriman kepada Alloh, namun juga harus meyakini bahwa Alloh adalah
satu-satunya yang berhak disembah dan beriman kepada nama dan sifat
Alloh. (Sebagian pembahasan di atas dapat dilihat di kitab Al Qoulul
Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Al Utsaimin)
Semoga
Alloh menunjuki kita semua kepada aqidah yang benar dan mewafatkan kita
dalam keadaan muslim. Hanya kepada Alloh kami mohon pertolongan. Wallohu a’lam bish showab.