Powered By Blogger

Kamis, 03 November 2011

Islam, Iman, dan Ihsan

Islam dalam Diagram Venn
Islam dalam Diagram Venn
Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi Malaikat Jibril dalam wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jati dirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu. Dia menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman, dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan Rosululloh bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu?”. Maka Umar menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih tahu”. Nabi pun bersabda, “Sesungguhhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: “Di dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil bahwasanya Islam, Iman, dan Ihsan semuanya diberi nama ad-din/agama (Ta’liq Syaroh Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman, dan Ihsan.

Tingkatan Islam

Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa Romadhon, dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Di antara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (ta’liq Syaroh Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud di sini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji.

Tingkatan Iman

Selanjutnya Nabi ditanya mengenai Iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau beriman kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang dimaksud di sini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: Di antara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah pembedaan antara Isalm dan Iman, ini terjadi apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu Islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan, sedangkan Iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila disebutkan secara mutlak salah satunya (Islam atau Iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti dala firman Alloh Ta’ala, “Dan Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian” (Al Maidah: 3) maka kata Islam di sini sudah mencakup Islam dan Iman. (ta’liq Syaroh Arba’in hlm. 17)

Tingkatan Ihsan

Nabi juga di tanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Di antara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua, yaitu menyembah kepada Alloh dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itu Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu (ta’liq Syaroh Arba’in hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.

Bagaimana mengkompromikan ketiga istilah ini?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, yang maknanya: Bila dibandingkan dengan iman maka ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan, sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebig khusus daripada islam bila ditinjau dari orang yang nencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain.. (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63)

Muslim, Mu’min, dan Muhsin

Oleh karena itulah para ulama muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mu’min pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota badannya sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman yang sempurna. Sebagaimana Alloh Ta’ala telah berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan: Kami telah beriman, Katakanlah: Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: Kami telah berislam” (Al-Hujurot: 14).

Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, di mana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam, kemudia tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)


Kesimpulan

Dari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian agama ini yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman, dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. Jadi, barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia harus muslim dan mu’min. Wallohu a’lam.