Rosululloh sholallohu
‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi Malaikat Jibril dalam
wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jati dirinya oleh para sahabat
yang ada pada saat itu. Dia menanyakan kepada beliau tentang Islam,
Iman, dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai pertanyaan Jibril dan
dia pun telah meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan Rosululloh
bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu
siapakah orang yang bertanya itu?”. Maka Umar menjawab, “Alloh dan
Rosul-Nya lah yang lebih tahu”. Nabi pun bersabda, “Sesungguhhnya dia
itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama
kalian” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: “Di
dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil bahwasanya Islam, Iman, dan
Ihsan semuanya diberi nama ad-din/agama (Ta’liq Syaroh Arba’in hlm. 23).
Jadi agama Islam yang kita anut ini mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman,
dan Ihsan.
Tingkatan Islam
Di dalam hadits tersebut,
ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab, “Islam itu
engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Alloh dan
bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan
zakat, berpuasa Romadhon, dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu
menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Di
antara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu
terdiri dari 5 rukun (ta’liq Syaroh Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang
dimaksud di sini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji.
Tingkatan Iman
Selanjutnya Nabi ditanya mengenai Iman.
Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau beriman kepada Alloh, para
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir, dan engkau
beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi
Iman yang dimaksud di sini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada
di dalam hati. Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: Di antara faedah yang
bisa dipetik dari hadits ini adalah pembedaan antara Isalm dan Iman, ini
terjadi apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka
ketika itu Islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan,
sedangkan Iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila
disebutkan secara mutlak salah satunya (Islam atau Iman saja) maka sudah
mencakup yang lainnya. Seperti dala firman Alloh Ta’ala, “Dan Aku telah
ridho Islam menjadi agama kalian” (Al Maidah: 3) maka kata Islam di
sini sudah mencakup Islam dan Iman. (ta’liq Syaroh Arba’in hlm. 17)
Tingkatan Ihsan
Nabi juga di
tanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah
kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak
bisa (beribadah seolah-olah melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Di antara faedah yang bisa
dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang
manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan
keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin
sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna.
Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia
berada di derajat kedua, yaitu menyembah kepada Alloh dengan ibadah
yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena
itu Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya
Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah
kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu (ta’liq Syaroh Arba’in
hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.
Bagaimana mengkompromikan ketiga istilah ini?
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan, yang maknanya: Bila dibandingkan dengan iman maka
ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan
lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada
derajat ihsan, sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila
ditinjau dari substansinya dan lebig khusus daripada islam bila ditinjau
dari orang yang nencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah
terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga
orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang
mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa
dibandingkan orang-orang muslim yang lain.. (At Tauhid li shoffil awwal
al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63)
Muslim, Mu’min, dan Muhsin
Oleh karena itulah para
ulama muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mu’min pasti muslim,
karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam
kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan
lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi
imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan
sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota
badannya sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min
dengan iman yang sempurna. Sebagaimana Alloh Ta’ala telah berfirman,
“Orang-orang Arab Badui itu mengatakan: Kami telah beriman, Katakanlah:
Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: Kami telah berislam” (Al-Hujurot: 14).
Dengan demikian jelaslah
sudah bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, di mana
satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama
yaitu islam, kemudia tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman,
kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)
Kesimpulan
Dari hadits serta
penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian agama
ini yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam,
iman, dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. Jadi, barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia harus muslim dan mu’min. Wallohu a’lam.