Masih terngiang-ngiang dalam ingatan kita
ketika dulu zaman masih sekolah SD atau SMP, kita diajarkan bahwa makna
kalimat tauhid “laa ilaaha illalloh” adalah “Tidak ada Tuhan selain Alloh”.
Inilah makna yang selama ini terpatri dalam hati sanubari kita tanpa
sedikit pun kita berfikir tentang kebenaran makna tersebut. Karena
memang itulah yang diajarkan oleh guru-guru kita pada saat masih sekolah
dulu. Kesalahfahaman ini tidak hanya dialami oleh masyarakat awam,
bahkan orang-orang yang dikenal sebagai “cendekiawan” muslim pun salah
faham (atau memang sengaja salah?? – zuh) tentang makna kalimat tauhid
ini. Buktinya, di antara mereka ada yang mengartikan “laa ilaaha illalloh” sebagai “Tidak ada tuhan (“t” kecil) selain Tuhan (“t” besar)”.
Untuk Apa Membahas Makna Kalimat Tauhid?
Perlu digarisbawahi bahwa kalimat “laa ilaaha illalloh”
yang diucapkan oleh seseorang tidak akan bermanfaat kecuali dengan
memenuhi seluruh syarat dan rukunnya serta mengamalkan konsekuensinya.
Hal ini seperti ibadah shalat yang tidak akan sah kecuali dengan
memenuhi syarat dan rukunnya, serta tidak melakukan pembatal shalat. Di
antara syarat “laa ilaaha illalloh” yang harus dipenuhi adalah seseorang harus mengetahui makna kalimat tersebut.
Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain Alloh” (QS. Muhammad [47]: 19). Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Alloh, maka dia akan masuk surga” (HR. Muslim).
Dari dalil-dalil dari Al Qur’an dan As-Sunnah tersebut, para ulama rahimahullah menyimpulkan bahwa salah satu syarat sah “laa ilaaha illalloh” adalah seseorang mengetahui makna “laa ilaaha illalloh” dengan benar.
Tidak Ada “Tuhan” selain Alloh
“Tidak ada Tuhan selain Alloh” merupakan makna kalimat “laa ilaaha illalloh” yang populer di kalangan kaum muslimin. Dalam hal ini, kata “ilah” diartikan dengan kata “Tuhan”. Namun perlu diketahui bahwa kata “Tuhan” dalam bahasa Indonesia memiliki dua makna. Pertama, kata “Tuhan”
yang identik dengan pencipta, pengatur, penguasa alam semesta, pemberi
rizki, yang menghidupkan, yang mematikan, dan yang dapat memberikan
manfaat atau mendatangkan madharat. Kedua, kata “Tuhan” yang berarti sesembahan. Yaitu sesuatu yang menjadi tujuan segala jenis aktivitas ibadah.
Karena terdapat dua makna untuk kata “Tuhan”, maka kalimat “Tidak ada Tuhan selain Alloh” juga memiliki dua pengertian. Pengertian pertama, “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta selain Alloh”. Pengertian kedua, “Tidak ada sesembahan selain Alloh”. Oleh karena itu, dalam pembahasan selanjutnya kita akan meninjau apakah memaknai kalimat “laa ilaaha illalloh” dengan kedua pengertian tersebut sudah benar serta berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As-Sunnah?
Tidak Ada Pencipta, Pemberi rizki, dan Pengatur alam semesta selain Alloh
Memaknai “laa ilaaha illalloh” dengan “Tidak ada Tuhan selain Alloh” yang berarti “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta selain Alloh” adalah pemahaman yang keliru. Berikut ini kami sampaikan beberapa bukti yang menunjukkan kesalahan tersebut.
Bukti pertama, kaum musyrikin pada zaman Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pun mengakui bahwa Alloh Ta’ala adalah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi rizki, dan Mengatur alam semesta. Hal ini dapat kita ketahui dari dalil berikut ini.
Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah,
’Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau
siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan
siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan
yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’
Maka mereka akan menjawab,’Alloh’” (QS. Yunus [10]: 31).
Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa kaum musyrikin pada zaman dahulu meyakini sifat-sifat rububiyyah
Alloh, yaitu bahwa Alloh-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Dzat
Yang Memberi rizki, dan Dzat Yang Mengatur urusan alam semesta. Namun,
keyakinan seperti itu ternyata belum cukup untuk memasukkan mereka ke
dalam golongan orang-orang yang bertauhid. Sehingga Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pun tetap memerangi mereka, menghalalkan darah dan harta mereka meskipun mereka memiliki keyakinan seperti itu.
Oleh karena itu, apabila kalimat “laa ilaaha illalloh” diartikan dengan “Tidak ada pencipta selain Alloh”, “Tidak ada pemberi rizki selain Alloh”, atau “Tidak ada pengatur alam semesta selain Alloh”,
maka apa yang membedakan antara orang-orang musyrik dan orang-orang
Islam? Jika orang-orang musyrik itu masuk Islam dengan dituntut
mengucapkan kalimat “laa ilaaha illalloh” dengan makna seperti
itu, lantas apa yang membedakan mereka ketika masih musyrik dan ketika
sudah masuk Islam? Bukankah ketika mereka masih musyrik juga sudah
mengakui bahwa Alloh-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Dzat Yang
Memberi rizki, dan Dzat Yang Mengatur urusan alam semesta?
Bukti kedua, konsekuensi dari makna tersebut berarti kaum musyrik pada zaman Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bukanlah orang musyrik. Demikian pula, segala jenis perbuatan mereka yang menujukan ibadah kepada selain Alloh Ta’ala berarti bukan syirik.
Hal ini karena konsekuensi dari makna tersebut adalah seseorang tetap
disebut sebagai seorang muslim meskipun dia berdoa meminta kepada para
wali yang sudah mati, atau berdoa kepada Alloh melalui perantaraan (tawassul) orang-orang shalih yang sudah meninggal, atau menyembelih untuk jin penunggu jembatan, selama mereka memiliki keyakinan bahwa Alloh-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi rizki, dan Mengatur alam semesta.
Maka sungguh, ini adalah kekeliruan yang sangat fatal. Karena ternyata
makna tersebut akan membuka berbagai macam pintu kesyirikan di
tengah-tengah kaum muslimin.
Tidak Ada Sesembahan selain Alloh?
Makna kedua dari kalimat “Tidak ada Tuhan selain Alloh” adalah “Tidak ada sesembahan selain Alloh”. Namun makna ini juga tidak benar, meskipun secara bahasa (Arab) kata “ilah” memiliki makna “al-ma’bud” (sesembahan). Namun sebelumnya, perlu kita cermati bersama bahwa kalimat “Tidak ada sesembahan kecuali Alloh”, artinya sama dengan “Semua sesembahan adalah Alloh”. Contoh lain adalah ketika kita mengatakan, ”Tidak ada polisi kecuali memiliki pistol”. Maka artinya sama dengan, ”Semua polisi memiliki pistol”.
Meskipun makna “ilah” adalah “ma’bud” (sesembahan), namun memaknai “laa ilaaha illalloh” dengan “tidak ada sesembahan selain Alloh” tetap saja tidak tepat. Hal itu dapat ditunjukkan dari bukti-bukti berikut ini.
Bukti pertama, makna tersebut tidak sesuai dengan kenyataan atau realita yang sebenarnya. Bagaimana mungkin kita memaknai kalimat “laa ilaaha illalloh” dengan “tidak ada sesembahan selain Alloh”,
padahal realita menunjukkan bahwa terdapat sesembahan yang lain di
samping Alloh? Buktinya, kaum musyrikin pada zaman Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
memiliki sesembahan yang bermacam-macam. Di antara mereka ada yang
menyembah malaikat, ada yang menyembah Nabi dan orang-orang shalih, ada
yang menyembah matahari dan bulan, serta ada pula yang menyembah batu
dan pohon. (Lihat Syarh Al Qowa’idul Arba’, hal. 25).
Bahkan dalam banyak ayat pula Alloh Ta’ala menyebut sesembahan orang-orang musyrik sebagai “ilah”. Di antaranya adalah firman Alloh Ta’ala, “Mereka mengambil sesembahan-sesembahan selain Alloh, agar mereka mendapat pertolongan” (QS. Yasin [36]: 73). Kesimpulannya, memaknai “laa ilaaha illalloh” dengan “tidak ada sesembahan selain Alloh” adalah tidak tepat karena realita menunjukkan bahwa di dunia ini terdapat sesembahan-sesembahan yang lain selain Alloh Ta’ala. Bahkan Alloh sendiri mengakui bahwa memang terdapat sesembahan selain Dia.
Bukti kedua, kalimat “tidak ada sesembahan kecuali Alloh”
menimbulkan konsekuensi yang sangat berbahaya. Karena konsekuensi
kalimat itu menunjukkan bahwa semua sesembahan orang musyrik adalah
Alloh.
Kekeliruan makna “tidak ada sesembahan kecuali Alloh” juga dapat dilihat dari konsekuensi yang ditimbulkan oleh makna tersebut. Karena kalimat “tidak ada sesembahan kecuali Alloh”, berarti “semua sesembahan yang ada di alam semesta ini adalah Alloh”.
Maka Isa bin Maryam adalah Alloh, karena dia adalah sesembahan
orang-orang Nasrani. Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya’uq, Nasr, Latta, Uzza, dan
Manat semuanya adalah Alloh, karena mereka adalah sesembahan kaum
musyrikin pada zaman dahulu. Para wali yang dijadikan sebagai perantara
dalam berdoa kepada Alloh adalah Alloh juga, karena mereka merupakan
sesembahan para penyembah kubur.
Maka jelaslah, bahwa makna “tidak ada sesembahan selain Alloh”
menimbulkan konsekuensi yang sangat batil. Konsekuensi pertama, Alloh
itu tidak hanya satu, namun berbilang sebanyak jumlah bilangan
sesembahan yang ada di muka bumi ini. Sedangkan konsekuensi batil yang
kedua, bahwa Alloh Ta’ala telah menyatu dengan sesembahan-sesembahan tersebut (aqidah wihdatul wujud atau manunggaling kawula-Gusti).
Makna Kalimat “Laa ilaaha illalloh” yang Tepat
Syaikh Al-‘Allamah Hafidz bin Ahmad Al-Hakami rahimahullah berkata, ”Makna kalimat “laa ilaaha illalloh” adalah “laa ma’buuda bi haqqin illalloh” [tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Alloh]. Kalimat “laa ilaaha” bermakna meniadakan seluruh sesembahan selain Alloh. Maka tidak ada yang berhak untuk disembah kecuali Alloh (“illalloh”). Sehingga kalimat “illalloh” bermakna menetapkan segala jenis ibadah hanya kepada Alloh Ta’ala semata. Dia-lah sesembahan yang haq (yang benar) dan yang berhak untuk diibadahi” (Lihat Ma’arijul Qobul, 2/516).
Berdasarkan penjelasan beliau rahimahullah tersebut, maka makna yang tepat dari kalimat “laa ilaaha illalloh” adalah “tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Alloh”. Ditambahkannya kalimat “yang berhak disembah” ini dapat ditinjau dari dua sisi. Pertama, kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali sesembahan-sesembahan selain Alloh Ta’ala di muka bumi ini. Akan tetapi, dari sekian banyak sesembahan tersebut, yang berhak untuk disembah hanyalah Alloh Ta’ala semata. Dalilnya adalah firman Alloh Ta’ala yang artinya, “Demikianlah,
karena sesungguhnya Alloh, Dia-lah (sesembahan) yang haq (benar). Dan
sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain Alloh itulah
(sesembahan) yang batil” (QS. Luqman [30]: 31).
Kedua, dari sisi kaidah bahasa Arab pada kalimat “laa ilaaha illalloh” memang ada satu kata yang dibuang, yaitu “haqqun”. Sehingga kalimat lengkap dari kalimat tauhid tersebut sebenarnya adalah “laa ilaaha haqqun illalloh” yang berarti “tidak ada sesembahan yang haq (atau yang berhak disembah) selain Alloh”.
Kalau ada yang bertanya, ”Mengapa ada kata yang dibuang?” Maka
jawabannya adalah karena kaidah bahasa Arab menuntut agar kalimat
tersebut disampaikan secara ringkas, namun dapat difahami oleh setiap
orang yang mendengarnya. Meskipun kata “haqqun” dibuang, namun orang-orang musyrik jahiliyyah dahulu telah memahami bahwa ada satu kata yang dibuang (yaitu “haqqun”) dengan hanya mendengar kalimat “laa ilaaha illalloh”. Karena bagaimanapun, orang-orang musyrik jahiliyyah adalah masyarakat yang fasih dalam berbahasa Arab. (Lihat At-Tamhiid, hal. 77-78)
Demikianlah pembahasan tentang makna yang
benar dari kalimat tauhid. Semoga dengan pembahasan yang singkat ini
dapat mengangkat sedikit di antara kebodohan diri kita tentang agama
ini. Dan sungguh, memahami kalimat tauhid merupakan salah satu nikmat
Alloh Ta’ala yang sangat besar bagi hamba-Nya. Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Tidaklah Alloh Ta’ala memberikan nikmat kepada seorang hamba dengan suatu nikmat yang lebih agung dari nikmat diberikan pemahaman terhadap kalimat ‘laa ilaaha illalloh’”.
http://buletin.muslim.or.id/