Powered By Blogger

Selasa, 19 Juli 2011

Merokok Tanda Tak Miskin

merokok tak miskin Merokok Tanda Tak Miskin

Masuk akal juga sih pernyataan itu, namun ada kebiasaan yang ironis juga pada masyarakat kita, dan ini banyak sekali terjadi, mereka rela kelaparan dari pada tidak merokok, berarti pernyataan diatas salah ya bahwa merokok tanda tak miskin ? bisa saja benar dan bisa saja salah, bisa jadi mereka miskin karena rokok, tapi juga ada yang jadi kaya gara-gara rokok.Hmmm… sepertinya substansi dari pernyataan diatas bukan itu, ini berkenaan dengan peraturan menteri yang menyebutkan bahwa salah satu syarat mendapat Jaminan Pembiayaan Kesehatan dan Gaskin adalah tidak perokok, hal ini dimaksud agar rakya tidak hanya melakukan pengobatan saja tetapi juga melakukan pencegahan.Berikut ini beberapa artikel berkenaan dengan hal diatas,

Orang Miskin Indonesia Rela Lapar Asal Bisa Beli Rokok

Makanan atau rokok? Mana yang Anda pilih?
Penelitian dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menyebutkan, hampir separuh orang miskin di Indonesia rela kelaparan demi menghisap nikotin.
Indonesia adalah surga bagi para perokok. Satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak menandatangani kesepakatan World Health Organizations atau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menghentikan kebiasaan merokok.
Industri tembakau lokal menyediakan ratusan ribu lapangan kerja dan pajak dari rokok menyumbang 10-30 persen pendapatan pemerintah.
Seperti yang dilaporkan Regie Situmorang, dan dibacakan Vitri Angreni.
Abe mengamen dengan gitarnya di dalam bus yang penuh sesak di Jakarta Pusat.
Selesai menyanyi, ia mengedarkan kantong uang pada para penumpang. Sehari, ia bisa mengantongi 20 ribu rupiah dari pekerjaannya ini.
Setengahnya ia gunakan untuk membeli rokok.
“Aku ngerokok setengah bungkus, 4500 deh sehari. Tapi kalo buat temen temen yang lain ada juga yang sebungkus sehari. Penghasilanku nga banyak jadi hanya di hari baik saja aku makan. Uangnya pertama-tama untuk beli rokok, lalu bayar sewa baru untuk makan.”
Abe merokok sejak usia 18 tahun.
Bermula dari ingin tahu, sampai ketagihan seperti sekarang. Abe mengaku, kalau tak merokok rasanya lemas.
Ridhu, 17 tahun, bekerja sebagai kuli pulung di sebuah lapak barang bekas. Ia mendapat upah 4500 rupiah sehari. Setengahnya ia belanjakan untuk membeli rokok.
“Merokok adalah segalanya bagi remaja laki-laki seperti saya. Merokok bisa menghilangkan stres bahkan lebih dari pacar. Rokok itu segalanya, karena rokok itu bisa ngilangin jenuh.”
Orang paling miskin sekali pun rela berlapar-lapar demi bisa merokok.
Penelitian dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menyebutkan, 40 persen perokok di Indonesia berasal dari kelompok berpenghasilan kecil.
Dan yang lebih memprihatinkan adalah usia perokok di Indonesia makin muda.
Diperkirakan 78 persen perokok mulai di usia 19 tahun.
“Sekarang ada 30 persen perokok Indonesia yang berusia antara 5-9 tahun. Ini sangat mengerikan.”
Imam Prasodjo, sosiolog dari Universitas Indonesia adalah penyeru anti perokok yang blak- blakan.
Suaranya seakan tenggelam seiring kondisi Indonesia yang menjadi surga para perokok.
Harga rokok di Indonesia yang paling murah. Hanya dengan 10 ribu rupiah, Anda bisa mendapatkan sebungkus rokok, bahkan bisa beli hanya beberapa batang dengan harga lebih murah.
Di warung pinggir jalan di Jakarta Pusat, anak-anak dan remaja membeli rokok. Tak ada batasan usia pembeli. Seorang anak yang berusia sekitar lima tahun mengatakan membeli rokok untuk ayahnya. Dibungkus rokok ada tulisan kecil berisi peringatan yang berbunyi rokok dapat menyebabkan kanker, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin.
Namun, di atas warung itu ada papan iklan besar yang memuat iklan pertandingan sepak bola nasional dan merek rokok lokal terkenal.
“Ini akibat perangkap yang dibuat industri. Perokok adalah korban. Mereka adalah korban industri, yang bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan. Mereka mensponsori acara olahraga, kebudayaan bahkan kegiatan pendidikan. Banyak sekolah yang dibangun atau disponsori perusahaan rokok. Uang membuat mereka jadi kelompok lobi sangat kuat. Itu sebabnya mereka punya akses ke partai politik bahkan presiden.”
Pada 2007, DPR mengajukan Rancangan Undang-undang Pengendalian Dampak Rokok Tembakau terhadap Kesehatan. Tapi RUU Rokok ini ditolak.
Pemerintah juga menolak meratifikasi Konvensi Internasional Pengendalian Tembakau (FTCT) yang bertujuan menurunkan konsumsi tembakau.
Indonesia menjadi satu-satunya negara Asia yang melakukannya.
Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan, Yusharmen mengatakan mereka coba mengajukan beberapa aturan kesehatan tapi gagal.
“Kita punya regulasi industri rokok termasuk peringatan kesehatan di bungkusnya. Yang hilang adalah soal sanksi dan penegakan hukum. Tapi banyak pemerintah daerah di Indonesia termasuk Jakarta punya aturan sendiri soal merokok untuk menjaga kesehatan masyarakat. Sejauh ini, Departemen Kesehatan prihatin karena merokok hanya buang-buang uang.”
Kenyataannya, industri rokok adalah bisnis triliyunan rupiah yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja. Pajak rokok juga menyumbang 10-30 persen pendapatan negara.
Tapi gerakan anti rokok makin lama kian dapat dukungan. Baru-baru ini, Philip Morris International unit Indonesia terpaksa menarik alat-alat promosinya untuk konser Alicia Keys setelah komplain para penyeru gerakan anti rokok.
Beberapa bulan lalu, rumah sakit umum di Jakarta Pusat ini jadi daerah bebas asap rokok. Dan sekarang sebuah tanda “Dilarang Merokok” terpampang di depannya.
Tapi tak jauh dari rumah sakit itu, puluhan warung menjual rokok pada warga miskin kota yang menyia-nyiakan uang dan kesehatan mereka. Sebuah penelitian Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, 10 tahun mendatang, 25 persen laki-laki Indonesia akan meninggal karena merokok.

Pembiayaan & Jaminan Kesehatan

Kecenderungan meningkatnya biaya pemeliharaan kesehatan menyulitkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya. Keadaan ini terjadi terutama pada keadaan dimana pembiayaannya harus ditanggung sendiri (“out of pocket”) dalam sistim tunai (“fee for service”).
Kenaikan biaya kesehatan terjadi akibat penerapan teknologi canggih, karakter ‘supply induced demand’ dalam pelayanan kesehatan, pola pembayaran tunai langsung ke pemberi pelayanan kesehatan, pola penyakit kronik dan degeneratif, serta inflasi. Kenaikan biaya pemeliharaan kesehatan itu semakin sulit diatasi oleh kemampuan penyediaan dana pemerintah maupun masyarakat. Peningkatan biaya itu mengancam akses dan mutu pelayanan kesehatan dan karenanya harus dicari solusi untuk mengatasi masalah pembiayaan kesehatan ini.
Solusi masalah pembiayaan kesehatan mengarah pada peningkatan pendanaan kesehatan agar melebihi 5% PDB sesuai rekomendasi WHO, dengan pendanaan pemerintah yang terarah untuk kegiatan public health seperti pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan, promosi kesehatan serta pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Sedangkan pendanaan masyarakat harus diefisiensikan dengan pendanaan gotong-royong untuk berbagi risiko gangguan kesehatan, dalam bentuk jaminan kesehatan.
Pokok utama dalam pembiayaan kesehatan adalah:
a. Mengupayakan kecukupan/adekuasi dan kesinambungan pembiayaan kesehatan pada tingkat pusat dan daerah .
b. Mengupayakan pengurangan pembiayaan OOP dan meniadakan hambatan pembiayaan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terutama kelompok miskin dan rentan melalui pengembangan jaminan
c. Peningkatan efisiensi dan efektifitas pembiayaan kesehatan.
Pengembangan jaminan kesehatan dilakukan dengan beberapa skema sebagai berikut:
1.Pengembangan jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin).
2. Pengembangan Jaminan Kesehatan (JK) sebagai bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
2.Pengembangan jaminan kesehatan berbasis sukarela:
a.Asuransi kesehatan komersial
b.Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) sukarela
3.Pengembangan jaminan kesehatan sektor informal:
a.Jaminan kesehatan mikro (dana sehat)
b.Dana sosial masyarakat

Orang Miskin Dilarang Merokok ( Nyata ! )

Orang Miskin yang Merokok akan Dicabut Jaminan Kesehatannya
Keluarga miskin di Jakarta yang anggota keluarganya ada yang merokok maka seluruh keluarga tersebut dipastikan akan dicabut kartu jaminan kesehatannya.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta sedang menggodok rencana tersebut yang nantinya akan melibatkan beberapa instansi terkait.
Keluarga miskin yang salah satu anggota keluarganya merokok terancam tidak mendapatkan Jaminan Pemeliharaan Keluarga Miskin (JPK Gakin).
“Kita akan gunakan survei, tapi teknisnya nanti seperti apa masih kita bahas. Kita terus melakukan pendalaman untuk hal ini,” ujar Kepala Dinas Kesehatan DKI Dien Emmawati saat dihubungi detikcom, Selasa (9/2/2010).
Dinkes serius untuk mengkaji rencana pencabutan jaminan kesehatan itu. “Rencana itu terus kita bahas di Dinas saya, juga melibatkan lintas dinas dan pihak terkait. Kita serius dalam hal ini,” tegasnya.
“Karena kalau misalnya bapaknya merokok, istri dan anaknya juga pasti menjadi perokok pasif. Itu lebih berbahaya, mubazirkan kita beri tunjangan kesehatan,” tandas Dien.
Dari data yang dimiliki Dinas Kesehatan Provinsi DKI, keluarga miskin lebih besar menghabiskan uang untuk membeli rokok daripada membeli makanan sehari-hari.
“Data yang kita dapat, uang makan mereka cuma 19 persen, tapi uang rokok bisa lebih dari 20 persen,” ujar Dien.
Sebelumnya, Komnas Pengendalian Tembakau mencatat konsumsi rokok keluarga miskin menyumbang 32.400 kematian balita per tahun di Indonesia. Belanja rokok pada keluarga miskin di tahun 2006 setara dengan 15 kali biaya pendidikan dan 9 kali biaya kesehatan.
Yang lebih memprihatinkan keluarga miskin cenderung lebih suka mengeluarkan uangnya untuk membeli rokok dibanding belanja kebutuhan protein atau untuk pendidikan.
Kebiasaan merokok pada orang tua, bisa berdampak buruk pada gizi balita sehingga meningkatkan risiko gizi kurang dan gizi subur (overweight) yang nantinya berkontribusi pada peningkatan kematian bayi dan balita. Hal ini disebabkan dari zat-zat kimia yang terkandung didalam rokok.
Pada ibu hamil memiliki risiko dua kali lebih besar untuk melahirkan dengan berat badan bayi yang rendah dan kemungkinan menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik, intelektual, aborsi spontan, insiden plasenta bahkan bisa menyebabkan kematian pada bayi.
 Merokok Tanda Tak Miskin Merokok Tanda Tak Miskin Merokok Tanda Tak Miskin Merokok Tanda Tak Miskin Merokok Tanda Tak Miskin