Powered By Blogger

Rabu, 02 November 2011

Khusus (الخاص) Dan UMUM (العام)

DEFINISINYA :
Khusus (الْخَاصُ) secara bahasa : (ضِدُّ الْعَامِ) Lawan dari umum.
Dan secara istilah :
(الْلَفْظُ الدَّالُّ عَلَى مَحْصُوْرٍ بِشَخْصٍ أَوْ عَدَدٍ، كَأَسْمَاءِ اْلأَعْلاَمِ وَالإِشَارَةِ وَالعَدَدِ)
“Suatu lafadz yang menunjukkan atas sesuatu yang terbatas dengan orang tertentu atau bilangan tertentu, seperti nama-nama , isyarat dan jumlah.”

Keluar dari perkataan kami : (عَلَى مَحْصُوْرٍ) “atas sesuatu yang terbatas” : (العَامُ) umum.
Pengkhususan (التَّخْصِيْص) secara bahasa : (ضِدُّ التَّعْمِيْمِ) lawan dari peng-umuman.
Secara istilah :
(إِخْرَاجُ بَعْضِ أَفْرَادِ العَامِ)
“Mengeluarkan sebagian anggota yang umum.”
Dan yang mengkhususkan (المُخَصِّصُ) : Pelaku pengkhususan yaitu pembuat syariat, dan dimutlakkan sebagai dalil yang dihasilkan dengannya pengkhususan.
Dalil takhsis ada dua macam : Muttashil (مُتَّصِلٌ) dan Munfashil (مُنْفَصِلٌ).
Muttashil (bersambung) : yang tidak bisa berdiri sendiri.
Munfashil (terpisah) : yang bisa berdiri sendiri.
Di antara Mukhoshshis Muttasil (المخصص المتصل) :
Pertama : pengecualian (الاِسْتِثْنَاءُ) yaitu secara bahasa : berasal dari kata (الثني), yaitu mengembalikan sebagian dari sesuatu kepada sebagian yang lain, seperti (كثني الحبل) mengembalikan sebagian dari tali kepada sebagian yang lain.
Secara istilah : “mengeluarkan sebagian anggota sesuatu yang umum dengan (إلا) atau salah satu saudara-saudaranya, seperti firman Alloh :
إِنَّ الْأِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan saling berwasiat untuk mentaati kebenaran dan saling berwasiat untuk menetapi kesabaran.” [QS. al-’Ashr : 2-3]
Keluar dari perkataan kami : (بإلا أو إحدى أخواتها) “dengan (إلا) atau salah satu saudara-saudaranya” : takhshih dengan syarat dan yang lainnya.
SYARAT ISTITSNA’ (PENGECUALIAN) :
Benarnya istitsna’ disyaratkan dengan beberapa syarat, diantaranya :
[1] Bersambungnya dengan yang dikecualikan (المستثنى), secara hakiki atau secara hukum.
Muttashil secara hakiki : yang langsung bersambung dengan yang dikecualikan dari sisi keduanya tidak dipisah dengan suatu pemisah.
Muttashil secara hukum : yang dipisahkan antara sesuatu yang umum dengan yang dikecualikan darinya dengan pemisah yang tidak mungkin untuk dicegah, seperti batuk atau bersin.
Jika antara keduanya terpisah dengan suatu pemisah yang mungkin dicegah atau dengan diam, maka istitsna’-nya tidak sah. Seperti seseorang mengatakan : (عبيدي أحرار) “Semua budak-budakku bebas” kemudian ia diam atau berbicara dengan pembicaraan yang lain lalu mengatakan : (إلا سعيداً) “kecuali Sa’id”, maka istitsna’-nya tidak sah dan semuanya budaknya bebas.
Dan dikatakan : istitsna’ dengan diam atau ada pemisah adalah sah, jika masih dalam satu pembicaraan yang sama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas رضي الله عنهما :
أن النبي صلّى الله عليه وسلّم قال يوم فتح مكة: “إن هذا البلد حرمهُ الله يوم خلق السموات والأرض، لا يعضد شوكه ولا يختلى خلاه”، فقال العباس: يا رسول الله إلا الإذّخر فإنه لقينهم وبيوتهم، فقال: “إلا الإذخر”
Bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم berkata pada hari fat-hul Makkah : “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan negri ini pada hari ketika Dia menciptakan langit dan bumi, tidak boleh dipotong durinya dan tidak boleh dipotong ranting-rantingnya” al-Abbas berkata : “wahai Rasululloh, kecualikan idzkhir, karena idzkhir adalah untuk kebutuhan mereka dan rumah mereka”, lalu Rasululloh bersabda : “kecuali idzkhir”. Dan pendapat ini lebih rojih berdasarkan penunjukkan hadits ini atasnya.
[2] Yang dikecualikan (الْمُسْتَثْنَى) tidak lebih banyak dari setengah yang dikecualikan darinya (الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ), seandainya dikatakan : (له عليّ عشرة دراهم إلا ستة) “Saya memiliki hutang terhadapnya sepuluh dirham kecuali enam”, istitsna’-nya tidak sah dan ia harus mengeluarkan 10 seluruhnya.
Dan dikatakan : yang demikian tidak disyaratkan sehingga istitsna’-nya sah, walaupun yang dikecualikan lebih banyak dari setengah, maka pada contoh yang tadi tidak mengharuskannya untuk mengeluarkan kecuali hanya 4 saja.
Adapun jika dikecualikan semuanya, maka tidak sah berdasarkan dua pendapat tadi. Jika seseorang mengatakan : (له علي عشرة إلا عشرة) “Saya memiliki hutang terhadapnya sepuluh kecuali sepuluh.”, mengharuskannya membayar sepuluh seluruhnya.
Dan syarat ini adalah jika istitsna’nya dalam bentuk jumlah, adapun jika dalam bentuk sifat maka sah walaupun dikeluarkan semua atau kebanyakan, misalnya : firman Alloh ta’ala kepada iblis :
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ
“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.” [QS. al-Hijr : 42]
Dan pengikut iblis dari kalangan anak adam adalah lebih banyak dari separuh jumlah mereka, seandainya aku mengatakan : (أعط من في البيت إلا الأغنياء) “Berikanlah kepada siapa yang di rumah itu kecuali orang-orang yang kaya.”, lalu diketahui bahwa semua yang ada di rumah itu adalah orang kaya, maka istitsna’nya sah dan mereka tidak diberi apa-apa.
Yang kedua : yang termasuk mukhoshshish muttashil (المخصص المتصل) : syarat, yaitu secara bahasa : (العلامة) tanda.
Dan yang dimaksud dengannya di sini :
(تعليق شيء بشيء وجوداً، أو عدماً بإن الشرطية أو إحدى أخواتها)
“menggantungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain adanya atau tidak adanya dengan (إن الشرطية) atau salah satu dari saudara-saudaranya.”
Dan syarat merupakan mukhoshshish (yang mengkhususkan), baik diletakkan di depan atau diakhirkan.
Contoh yang diletakkan di depan adalah firman-Nya ta’ala kepada orang-orang musyrik :
) فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُم)
“Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan” [QS. at-Taubah : 5]
Dan contoh yang diakhirkan adalah firman-Nya ta’ala :
) وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرا)
“Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka” [QS. an-Nur : 33]
Yang ketiga : (الصفة) Sifat, yaitu :
(ما أشعر بمعنى يختص به بعض أفراد العام من نعت أو بدل أو حال)
“Yang memberikan kesan suatu makna yang menjadi khusus dengannya sebagian anggota yang umum dari na’at atau badal atau hal.”
Misal dari na’at (نعت) adalah firman-Nya ta’ala :
) فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ)
“Maka dari yang kamu miliki dari budak-budak wanita yang beriman” [QS. an-Nisa’ : 25]
Misal dari badal (بدل) adalah firman-Nya ta’ala :
) وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً)
“Atas manusia ada kewajiban terhadap Allah untuk haji ke Baitulloh, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana” [QS. Ali Imron : 97]
Misal dari haal (حال) adalah firman-Nya ta’ala :
)وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُتَعَمِّداً فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا)(النساء: من الآية93)
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya” [QS. an-Nisa’ : 93]



DEFINISINYA :
Umum (العام) secara bahasa : (الشامل) Yang mencakup.
Dan secara istilah :
(اللفظ المستغرق لجميع أفراده بلا حصر)
“Lafadz yang mencakup untuk semua anggotanya tanpa ada pembatasan”
Cotohnya :
إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti (الْأَبْرَارَ) benar-benar berada dalam syurga yang penuh kenikmatan.” (Al-Infithor : 13 dan Al-Muthoffifin : 22)
Maka keluar dari perkataan kami : (المستغرق لجميع أفراده) “yang mencakup untuk semua anggotanya” : apa-apa yang tidak mencakup kecuali satu, seperti nama sesuatu dan Isim Nakiroh dalam konteks untuk penetapan (النكرة في سياق الإثبات) sebagaimana firman Allah ta’ala :
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ
“Maka bebaskanlah seorang budak (رَقَبَةٍ)” (Al-Mujadalah : 3)
Karena ayat ini tidak mencakup semua anggotanya secara menyeluruh, dan hanya saja ayat ini mencakup satu dari anggotanya yang tidak ditentukan.
Dan keluar dari perkataan kami : (بلا حصر) “tanpa ada pembatasan” : apa-apa yang mencakup seluruh anggotanya dengan pembatasan, seperti nama-nama bilangan: ratusan, ribuan dan yang semisal keduanya.
BENTUK-BENTUK UMUM (صيغ العموم)
Bentuk-bentuk umum ada tujuh :
1. Apa-apa yang menunjukkan atas keumumannya dengan alat-alatnya (yang menunjukkan keumuman, pent), contohnya : (كُلّ), (جَمِيْع), (كَافَّة), (قَاطِبَة), dan (عَامَّة)
Sebagaimana firman Allah ta’ala :
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya segala sesuatu (كُلَّ شَيْءٍ) Kami ciptakan menurut ukuran” (Al-Qomar : 49)
2. Kata-kata syarat (أسماء الشرط), sebagaimana firman Allah ta’ala :
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً فَلِنَفْسِه
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, maka itu adalah untuk dirinya sendiri” (Al-Jatsiyah : 15)
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
“Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah” (Al-Baqoroh : 115)
3. Kata-kata tanya (أسماء الاستفهام), sebagimana firman Allah ta’ala :
فَمَنْ يَأْتِيكُمْ بِمَاءٍ مَعِينٍ
“Maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?” (Al-Mulk : 30)
مَاذَا أَجَبْتُمُ الْمُرْسَلِينَ
“Apakah jawabanmu kepada para Rosul?”(Al-Qoshosh : 65)
فأَيْنَ تَذْهَبُوْنَ
“Maka kemanakah kamu akan pergi?”(At-Takwir : 26)
4. Kata-kata sambung (الأسماء الموصولة), sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zumar : 33)
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Al-Ankabut : 69)
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لِمَنْ يَخْشَى
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya).”(An-Nazi’at : 26)
وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْض
“Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan yang ada di bumi.”
5. Isim Nakiroh dalam konteks peniadaan, larangan, syarat, pertanyaan yang maksudnya pengingkaran (النكرة في سياق النفي أوالنهي أوالشرط أوالاستفهام الإنكاري), sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَمَا مِنْ إِلَهٍ إلاَّ الله
“Dan tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah” (Ali-Imron : 62)
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun” (An-Nisa’ : 36)
إِنْ تُبْدُوا شَيْئاً أَوْ تُخْفُوهُ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيماً
“Jika kamu melahirkan sesuatu atau menyembunyikannya, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab : 54)
مَنْ إِلَهٌ غَيْرُ اللَّهِ يَأْتِيكُمْ بِضِيَاءٍ أَفَلا تَسْمَعُونَ
“Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka apakah kamu tidak mendengar?” (Al-Qoshosh : 71)
6. Yang dima’rifatkan dengan idhofah baik tunggal ataupun jama’ (المعرّف بالإضافة مفرداً كان أم مجموعاً), sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
“Dan ingatlah nikmat Allah atas kalian” (Ali Imron : 103 dan al-Ma’idah : 7)
فَاذْكُرُوا آَلَاءَ اللَّهِ
“maka ingatlah nikmat-nikmat Allah.” (al-A’rof : 74)
7. Yang dima’rifatkan dengan alif-lam al-Istighroqiyyah (ال الاستغراقية , alif-lam yang menunjukkan umum, pent) baik tunggal maupun jama’, sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفاً
“Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (An-Nisa’:28)
وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِم
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin” (An-Nuur : 59)
Adapun yang dima’rifatkan dengan alif-lam al-ahdiyyah (ال العهدية, alif-lam untuk sesuatu yang sudah diketahui) maka hal ini tergantung dari isim yang sudah diketahui tersebut (yakni yang dimasuki alif-lam al-ahdiyyah, pent), jika ia umum maka yang dima’rifatkan juga umum, dan jika ia khusus maka yang dima’rifatkan juga khusus. Contoh dari yang umum adalah firman Allah ta’ala :
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَراً مِنْ طِينٍ. فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ. فَسَجَدَ الْمَلائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat (لِلْمَلائِكَةِ): “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.” Lalu seluruh malaikat-malaikat (الْمَلائِكَةُ) itu bersujud semuanya.” (Ash Shod : 71-73)
Contoh dari yang khusus adalah firman Allah ta’ala :
كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُولا فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ فَأَخَذْنَاهُ أَخْذاً وَبِيلاً
“Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang Rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Fir’aun. Maka Fir’aun mendurhakai Rasul (الرَّسُولَ) itu, lalu Kami siksa dia dengan siksaan yang berat.” (Al-Muzammil : 15-16)
Adapun yang dima’rifatkan dengan Alif-lam untuk menjelaskan jenis, maka tidak bersifat umum kepada setiap anggotanya, jika kamu berkata : “Laki-laki itu lebih baik daripada wanita”, atau “Kaum laki-laki lebih baik daripada kaum wanita”, maka maksudnya bukanlah bahwa setiap perorangan dari laki-laki lebih baik daripada setiap perorangan dari wanita. Dan hanya saja maksudnya adalah bahwa jenis ini (laki-laki,pent) lebih baik daripada jenis ini (wanita, pent). Dan kadang-kadang dijumpai seseorang dari wanita yang lebih baik dari sebagian laki-laki.
BERAMAL DENGAN DALIL YANG UMUM
Wajib beramal dengan keumuman lafadz dalil yang umum sampai ada dalil shohih yang mengkhususkannya, karena beramal dengan nash-nash dari Al-Kitab dan As-Sunnah adalah wajib berdasarkan yang ditunjukkan oleh penunjukannya, sampai ada dalil yang menyelisihinya.
Jika ada suatu dalil umum dengan sebab yang khusus, maka wajib beramal sesuai keumumannya. Karena yang menjadi ibroh (sandaran) adalah umumnya lafadz bukan kekhususan sebab (asbabun nuzul atau wurud, pent) “العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب”, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan pengkhususan dalil yang umum tersebut dengan apa yang menyerupai keadaan sebab (asbabun nuzul atau wurud, pent) yang dalil itu turun karenanya, maka dikhususkan dengan yang menyerupai sebab tersebut.
Contoh yang tidak ada dalil menunjukkan atas pengkhususannya : Ayat tentang zhihar (yakni seorang suami mengatakan kepada isrinya : “bagiku kamu seperti punggung ibuku”, pent), sebab turunnya adalah perbuatan zhihar yang dilakukan Aus bin Shomit, dan hukumnya umum untuknya dan untuk yang selainnya.
Contoh yang ada dalil yang menunjukkan atas pengkhususannya : Sabda Rosullulloh shollallohu alaihi wa sallam :
ليس من البر الصيام في السفر
“Bukanlah termasuk kebaikan, berpuasa ketika safar.”
Sebabnya adalah ketika Nabi shollallohu alaihi wa sallam dalam suatu safar, beliau melihat keramaian dan ada seseorang yang diberi naungan (dari terik matahari, pent) lalu Rosullulloh bersabda :
“ما هذا؟” قالوا: صائم. فقال: “ليس من البر الصيام في السفر”
“Ada apa ini?” Mereka berkata : “Dia orang yang sedang berpuasa.” Lalu Rosullulloh bersabda : “Bukanlah termasuk kebaikan, berpuasa ketika safar.”
Ini merupakan dalil umum yang khusus untuk orang yang menyerupai kondisi orang ini, yakni berat baginya puasa ketika safar. Dan dalil yang menunjukkan pengkhususannya bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam pernah berpuasa ketika safar dimana hal itu tidak memberatkannya, dan Rosullullah shollallohu alaihi wa sallam tidak melakukan sesuatu kecuali kebaikan.
***
[Diterjemahkan oleh Ummu SHilah & Zaujuha dari Kitab al-Ushul min Ilmil Ushul karya asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh al’Utsaimin]